[AkhirZaman.org] Saudara, dalam artikel IMAN YANG TIDAK TERPENGARUH KEKACAUAN (1), kita telah melihat bahwa dari dulu sampai sekarang dunia ini selalu dipenuhi orang-orang yang menolak Tuhan. Mereka menghinakan hukum Tuhan, sehingga minimnya pengetahuan tentang Allah yang benar maka kondisi bumi ini dipenuhi dengan orang-orang yang kacau balau karena kualitas moral yang merosot. Begitu pula di zaman setelah air bah. Namun ada satu orang yang berdiri teguh untuk Tuhan, yaitu Abraham. Meskipun dibesarkan di tengah-tengah lingkungan penyembahan berhala, bahkan keluarga orangtuanya yang sesungguhnya juga memiliki pengetahuan akan Allah yang benar juga turut tergoda dalam penyembahan berhala. Tetapi Abraham adalah orang yang setia. Tak tergoda di tengah-tengah kemurtadan di sekitarnya. Setia di antara orang-orang yang tidak setia.
Alkitab mencatat bahwa Abraham dibenarkan oleh Tuhan. Galatia 3:6, “Secara itu jugalah Abraham percaya kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Ini sangat indah. Abraham dikenal sebagai orang yang benar. Apa yang dikatakan Alkitab sehingga Abraham menerima kebenaran? Percaya. Untuk percaya kita membutuhkan iman. Untuk menerima pembenaran itu kita membutuhkan iman. Iman atau percaya yang seperti apa sehingga dia dibenarkan Allah? Ada 2 peristiwa penting dalam hidup Abraham yang selalu dicatat dalam Alkitab karena peristiwa itu dia dianggap benar oleh Allah.
1. Peristiwa Pertama.
Roma 4:18. “Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” Apakah Allah memberikan Abraham janji? Iya, Abraham akan menjadi bapa dari banyak bangsa. Pertanyaan sederhana: Agar menjadi bapa banyak bangsa, apa yang Abraham harus miliki terlebih dahulu? Anak.
Ayat 19-21. “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.”
Sangat menarik. Ayat 19 mengatakan bahwa waktu itu dia sudah berumur 100 tahun dan Sarah tertutup kandungannya. Kita bisa melihat kondisi Abraham. Secara keadaan tidak mungkin Abraham memiliki anak. Bahkan Ibrani 11:12 mengatakan bahwa Sara seperti “orang yang telah mati pucuk.” Dan dalam terjemahan BIS mengatakan: “seperti orang yang sudah mati tubuhnya.”
Dalam pikirannya Abraham bergumul bagaimana bisa punya anak dalam keadaan seperti ini. Tetapi tanpa menghiraukan kondisinya, dengan tidak menghiraukan pemikirannya; dan meskipun secara fisik lemah, namun yang pasti dia tidak menjadi lemah iman meski berada dalam situasi yang lemah dan terbatas. Suatu iman yang tidak bimbang karena keragu-raguan. Suatu iman yang begitu kuatnya sehingga dapat memuliakan Allah. Dan iman yang hidup seperti inilah yang membuat Allah memperhitungkan sebuah kebenaran kepada seorang manusia.
Yesus dalam Perjanjian Baru memperkenalkan satu jenis iman yg dimiliki Abraham. Matius 17:20, “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, — maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.”
Kenapa Yesus menggunakan biji sesawi dalam pengajaran-Nya? Matius 13:31, 32, “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
Biji sesawi memiliki karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan biji-biji yang lainnya. Pertama, bijinya sangat kecil. Bahkan lebih kecil dari biji beras. Namun uniknya ketika ditanam dapat bertumbuh menjadi suatu pohon yang begitu besar. Bahkan burung-burung dapat bersarang pada cabang-cabangnya.
Kedua. Ketika ditanam dengan jenis pohon yang lainnya dalam satu tanah, dan jika ada satu jenis tumbuhan yang mati maka jenis tumbuhan yang lainnya akan ikut mati. Namun tidak dengan pohon sesawi. Dia akan tetap tumbuh, bahkan sari-sari dari pohon lain yang mati akan diserap dan akan membuat pohon sesawi bertumbuh dengan suburnya.
Bisakah Anda mengerti arti dari iman biji sesawi dan menghubungkannya dengan iman Abraham? Suatu iman yang meskipun awalnya kecil namun bertumbuh menjadi iman yang semakin kuat meskipun keadaan sekitar seolah-olah memaksa untuk menahan pertumbuhan iman itu sendiri. Suatu iman yang tidak menjadi lemah meskipun keadaan diri atau sekitar begitu melemahkan, namun bertumbuh menjadi iman yang kuat dan dapat memuliakan Allah karena berpegang pada firman Allah dan janji-janji-Nya.
“Meskipun biji sesawi itu sangat kecil, namun dalamnya terdapat prinsip hidup yang sama yang sukar dipahami yang menghasilkan pertumbuhan dalam pohon yang tertinggi. Ketika biji sesawi dilemparkan ke tanah, maka biji yang kecil sekali ini bila dipelihara oleh setiap unsur yang telah disediakan Allah untuk makanannya, dan bertumbuhlah menjadi kuat dengan cepatnya.”
“Jika kita memiliki iman seperti ini, kita akan berpegang kepada sabda Allah, dan pada segala sarana yang telah ditentukan Allah untuk menolong kita. Dengan demikian iman kita dikuatkan, dan akan membawa pertolongan kuasa surga kepada kita. Rintangan-rintangan yang ditumpukkan oleh Setan pada jalan kita, meskipun tampaknya tidak mungkin diatasi seperti bukit yang kekal, akan lenyap di hadapan tuntutan iman. Tidak ada yang mustahil bagi kita.”
Sebagai manusia mungkin kita pernah atau akan memiliki pengalaman yang sama seperti Abraham. Dari sudut pandang manusia mungin kita pernah atau akan berada pada suatu keadaan yang tidak berpengharapan. Kita berpikir Tuhan: “Saya mau melayani Engkau, mau menjadi orang setia, saya mau menyucikan hari Sabat-Mu tetapi saya terancam kehilangan pekerjaan saya. Saya rindu menuruti perintah-perintah-Mu namun saya takut dikucilkan oleh keluarga dan teman-teman saya.” Namun jika kita memiliki imannya Abraham dan iman seperti biji sesawi maka kita akan terus melangkah karena berpegang pada janji Tuhan karena Dia berkata untuk: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).
Kita perlu untuk mengatakan dalam doa-doa kita: “Tuhan saya merasa tidak berpengharapan, namun saya percaya kepada-Mu, dan menurut firman-Mu.” Kita perlu memiliki iman seperti biji sesawi yang dimiliki Abraham. Jangan lemah dalam iman dan jangan tidak percaya kepada firman Tuhan.
2. Peristiwa Kedua.
Kejadian 22:2, “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”
Menarik bila kita mencermati ayat ini mengatakan bahwa Allah berkata kepada Abraham: “Ambillah anakmu yang tunggal itu .”
Bukankah selain Ishak, juga ada Ismael? Sebelum peristiwa ini, atas permintaan Sara dan persetujuan dari Allah, Abraham telah mengusir Ismael dan Hagar (Kejadian 21:10-14). Saudara, kita dapat melihat betapa beratnya perjuangan Abraham waktu itu. Memiliki 2 anak. Yang pertama sudah diusir, dan anak kedua yang begitu lama dinantikan sesuai yang dijanjikan Tuhan, sekarang atas perintah Tuhan juga harus dikorbankan.
“Ishak adalah terang rumah tangganya, penghibur di masa tuanya, di atas segala sesuatunya ahli waris dari berkat yang dijanjikan itu. Kehilangan seorang anak laki laki seperti itu karena kecelakaan ataupun penyakit, akan menghancurkan hati bapa yang berbahagia itu; itu akan membebani kepalanya dengan kedukaan; tetapi ia telah diperintahkan untuk mencurahkan darah anak itu oleh tangannya sendiri. Baginya, hal itu merupakan sesuatu yang mustahil dan mengerikan.”
“Setan ada di samping untuk membisikkan kepadanya bahwa ia pasti tertipu . . . Abraham tergoda untuk mempercayai bahwa boleh jadi ia berada dalam lamunan. Dalam keragu raguan dan kesedihannya ia sujud di atas bumi, dan berdoa begitu rupa seperti yang belum pernah dilakukannya sebelumnya.“
Kegelapan begitu menyelubunginya; tetapi perintah Allah berdengung di telinganya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak.” Perintah itu harus diturut dan ia tidak berlambat lambatan.
Dan perintah Tuhan itu sungguh dilakukannya ketika Kejadian 22:3, 4 menuliskan, “Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Ketika pada hari ketiga Abraham melayangkan pandangnya, kelihatanlah kepadanya tempat itu dari jauh.”
Dalam ayat 4 kita mendapat petunjuk bahwa untuk sampai ke tanah Moria, waktu yang dibutuhkan adalah 3 hari. Bukanlah perjalanan yang singkat. Terlebih dalam usia yang sudah tua dan fisiknya yang begitu lemah. Namun ada satu hal yang menarik ketika di ayat ke-3 dicatat bahwa sejak sebelum berangkat dia sudah menyiapkan kayu untuk membuat mezbah korban bakaran di mana di atas mezbah Ishak akan dikorbankan sesuai perintah Tuhan. Dalam kesedihan hatinya dalam menjalankan perintah yang berat itu, tak ada niatan dalam hatinya untuk lari dari perintah Allah.
Bagaimana dengan kita? Apakah perintah Allah terlalu berat untuk kita turuti meski harus mengorbankan harta kita paling berharga? Apakah hobi dan kesenangan kita menghalangi penurutan kita? Sungguh tak sebanding dengan Abraham jika itu terjadi.
Alkitab tidak mengajarkan untuk memusuhi atau menjauhi keluarga kita. Tuhan sendiri akhirnya tidak memperkenankan Abraham untuk mengorbankan Ishak karena perintah untuk mengorbankan Ishak adalah ujian untuk iman Abraham (Kejadian 22:11-13). Namun yang menjadi pertanyaan: Apakah keluarga dan sahabat-sahabat kita lebih kita kasihi daripada Tuhan? JIka apa yang mereka katakan atau pendapat mereka bertentangan dengan Alkitab maka Tuhan-lah yang mesti kita turuti dan utamakan. Meski mereka memelihara hari Minggu atau hari lainnya untuk menggantikan hari Sabat Alkitabiah (hari Sabtu hari ketujuh), itu bukan berarti kita harus menomerduakan perintah Tuhan.
Mari kita kembali kepada cerita Abraham mendapat perintah mengorbankan Ishak. Di malam yang terakhir, pastilah Abraham gunakan malam itu untuk berdoa, masih mengharapkan bahwa beberapa pesuruh surga akan datang, dan mengatakan bahwa ujian itu sudah cukup, bahwa Ishak boleh kembali dengan selamat, kembali kepada ibunya. Tetapi tidak ada yang datang untuk meringankan beban yang menindih jiwanya itu. Dalam keadaan seperti ini pastilah Setan ada dekat untuk membisikkan kebimbangan dan tidak percaya, tetapi Abraham menolak anjuran anjuran Iblis itu.
Ayat 5: “Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: ‘Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu.’” Ketika hampir sampai di tempat yang ditunjukkan Tuhan untuk mengorbankan Ishak, Abraham memerintahkan dua bujangnya untuk tidak ikut bersama dia dan Ishak. Kenapa?
Dalam zaman Abraham, seringkali orang kaya memiliki bujang (pembantu kepercayaan). Dan Abraham adalah orang kaya. Biasanya bujang-bujang itu sangat loyal dengan majikannya (tetapi mereka bukan budak). Kemungkinan besar dua bujangnya itu sudah lama mengikuti Abraham, dan mungkin juga ikut merawat Ishak sejak bayi atau kecil. Artinya ada hubungan emosional atau perasaan yang kuat antara dua bujangnya itu dengan Ishak.
Bisa mengerti kenapa Abraham meninggalkan dua bujangnya ketika hampir tiba di tempat yang diperintahkan Tuhan? Sampai saat itu kedua bujangnya itu belum mengetahui perintah Tuhan kepada Abraham untuk mengorbankan Ishak. Abraham tidak ingin kedua bujangnya itu menghalanginya untuk menjalankan perintah Tuhan. Abraham tidak ingin ada manusia yang menghalanginya mengorbankan puteranya yang tunggal itu.
Ayat ke-7, “Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: ‘Bapa.’ Sahut Abraham: ‘Ya, anakku.’ Bertanyalah ia: ‘Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?’”
Dari ayat ini kita mendapatkan suatu petunjuk bahwa ketika hampir sampai di tanah Moria, Abraham belum sekalipun menceritakan perintah Tuhan ini kepada Ishak. Kemungkinan besar juga bahwa dia juga tidak menceritakan perintah Tuhan yang berat ini kepada Sara, isterinya. Ia rindu untuk mencurahkan segenap beban hatinya kepada istrinya itu, dan memberitahukan kepadanya tanggung jawab yang mengerikan itu; tetapi ia tidak mau bahwa naluri keibuan Sara mencegahnya melaksanakan perintah Allah itu.
Abraham melakukan apa yang bisa ia lakukan supaya tidak ada manusia yang mencoba menghalanginya menjalankan perintah Tuhan, bahkan jika itu adalah isterinya sendiri. Bagaimana dengan Anda, Saudara? Bisakah Anda membayangkan apa yang Abraham rasakan ketika Ishak berkata, “Bapa . . . Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?” Dalam perjalanan selama tiga hari pastilah bukan perjalanan yang menyenangkan bagi Abraham. Di sisinya ada anak yang begitu dikasihinya, dan sesuai perintah Tuhan anak ini harus dikorbankan.
Pada zaman itu, seorang pria sangat dihormati oleh isteri dan anaknya. Dan ketika Ishak memanggil dia dengan sebuah sebutan “Bapaku”, ini adalah sungguh satu ujian. Betapa kata mesra “bapaku” yang diucapkan Ishak itu pasti menembus jantung Abraham! Namun ini pun juga tidak dapat membuat Abraham membatalkan niatnya mengorbankan Ishak sesuai perintah Tuhan.
Lanjut ke ayat 9: “Sampailah mereka ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Lalu Abraham mendirikan mezbah di situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, dan diletakkannya di mezbah itu, di atas kayu api.” Ketika peristiwa ini terjadi, Abraham sudah sangat tua, dan Ishak sudah menjadi seorang pemuda yang cukup kuat. Alkitab hanya mencatat bahwa Abraham mengkikat Ishak seolah-olah tanpa perlawanan dari Ishak. Mengapa? Bukankah mudah saja bagi Ishak melawan ayahnya yang sudah tua dan lari meninggalkan bapanya?
Ketika dengan suara yang gemetar Abraham memaparkan kepada anaknya tentang pekabaran Ilahi itu, Ishak begitu merasa gentar dan heran mengetahui nasib yang akan dialaminya, tetapi ia tidak menolak.
Ishak pastinya telah dilatih sejak kecilnya untuk selalu siap menurut, dan apabila maksud maksud Allah dinyatakan kepadanya, ia menunjukkan satu penyerahan yang sukarela. Ia adalah seorang yang ikut ambil bagian dalam iman Abraham dan ia merasa satu kehormatan untuk dipanggil menyerahkan hidupnya sebagai satu persembahan kepada Allah. Dengan lemah lembut ia berusaha untuk meringankan kesedihan hati bapanya, dan tangannya yang kuat itu tak mungkin berdiam diri untuk tidak memberi pertolongan ketika melihat tangan bapanya yang lemah mengikatkan tali yang mengikat tubuhnya ke mezbah itu.
Saudara, di gunung Moria inilah rencana keselamatan diperagakan oleh Abraham dan Ishak. Kerelaan Abraham mengorbankan Ishak mencerminkan bagaimana Bapa di sorga rela mengorbankan Kristus di kayu salib. Dan kerelaan Ishak untuk dikorbankan melambangkan bagaimana Kristus dengan rela hati menyerahkan hidup-Nya untuk keselamatan manusia.
Saudara, sebagaimana Allah tidak mudah untuk melepaskan Yesus turun ke dunia dalam menjalankan rencana keselamatan, ini pula yang dirasakan Abraham. Selama perjalanan tiga hari itu Abraham mempunyai cukup waktu untuk berdalih dan meragukan Tuhan jikalau ia mau menyerah kepada kebimbangan. Ia dapat berdalih bahwa dengan mengorbankan anaknya itu, ia bisa dianggap sebagai seorang pembunuh dan akan mengakibatkan pengajarannya ditolak dan dicemoohkan, dan dengan demikian melenyapkan kekuasaannya untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Ia bisa saja mengatakan bahwa usianya itu harus membebaskannya dari penurutan. Tetapi Abraham tidak mau berlindung di bawah dalih dalih ini. Abraham adalah seorang manusia; nafsu dan sifat sifatnya adalah sama dengan kita; tetapi ia tidak bertanya tanya bagaimana janji itu dapat digenapi jikalau Ishak harus disembelih. Ia tidak berdalih dalih dengan hatinya yang luka itu. Ia mengetahui bahwa Allah adalah adil dan benar di dalam segala tuntutan Nya; dan ia menurut akan perintah itu dengan sesungguh-sungguhnya. Pantaslah dengan semua yang telah dilakukannya ini Abraham mendapat gelar sebagai bapa orang percaya.
Saudara, kira-kira apa yang segenap sorga pikirkan ketika melihat penurutan Abraham? Pastilah segenap sorga memandang dengan keheranan dan dengan rasa kagum akan penurutan Abraham yang tidak dapat digoyahkan itu. Segenap surga bersorak sorak melihat kesetiaannya itu. Saudara, tidakkah kita rindu memiliki penurutan dan kesetiaan seperti yang Abraham lakukan sehingga para malaikat di sorga melihat kita dengan penuh kekaguman? Bayangkan ketika tiba di sorga, para malaikat menyalami kita dan berkata: “Aku sungguh kagum melihat iman dan penurutanmu.”
Untuk kesetiaan dan penurutan yang Abraham tunjukkan, Yakobus memuji dan memberi sebuah status bagi Abraham dalam Yakobus 2:23b, “Karena itu Abraham disebut: ‘Sahabat Allah.’” Di tengah-tangah dunia yang kacau balau dan tidak menghormati Tuhan serta menghinakan hukum-Nya, apakah kita mau teguh berdiri dan memutuskan untuk menjadi Sahabat Allah? Atau kita malah memilih menjadi Sahabat Dunia?
Apa kita Sahabat Yesus sekarang? Sangat berbeda jika kita antara sekadar tahu dengan menjadi Sahabat Allah. Sekadar tahu adalah tidak mengenal secara dalam. Tetapi Sahabat Allah adalah menjadi seseorang yang selalu bicara dengan Dia, meluangkan waktu dengan Dia, mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Dia. Ini adalah makna seorang sahabat.
Yesus memberikan satu gambaran yang sangat menarik mengenai betapa pentingnya menjadi Sahabat Allah dalam Matius 7:21, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Apa yang harus kita lakukan untuk masuk kerajaan sorga? Melakukan kehendak Bapa di sorga.
Ayat 22: “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?” Dalam ayat ini dikatakan ada sekelompok orang yang bernubuat dalam nama Yesus, mengusir setan, mengadakan mujizat dalam nama Yesus, dan melayani orang lain dengan membawa nama Yesus. Apakah mereka melakukan hal yang buruk? Tidak. Mereka seakan-akan telah melakukan kehendak Bapa. Tetapi apa yang Tuhan katakan?
Ayat 23: “Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Mengapa Allah menolak mereka? Karena Allah tidak mengenal mereka. Meski mereka melakukan sesuatu yang sepertinya baik, melayani orang-orang, mengusir setan, meski mereka melakukan semuanya ini; yang menjadi masalah dan kesalahan utama orang-orang ini adalah tidak punya hubungan dengan Kristus. Mereka bukan Sahabat Allah.
Jika kita ingin merasakan kehidupan karena pembenaran oleh iman, kalau kita ingin merasakan kehidupan diubahkan, mulailah untuk tidak hanya mengenal Yesus tetapi menjadi Sahahat Yesus.
Di dalam dunia yang semakin kacau balau, banyak orang menolak Allah dan menghinakan hukum-Nya. Tuhan rindu ada orang-orang yang tidak hanya melayani Dia namun juga percaya, bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, dan setia menuruti semua perintah-Nya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah memiliki hubungan yang begitu akrab dengan Tuhan seolah-olah Dia adalah sahabat kita satu-satunya.
Setia menuruti perintah-Nya tidaklah bisa terlepas dari suatu hubungan yang erat dengan Tuhan. Dan setiap orang yang mengaku memiliki hubungan karib dengan Allah pastilah orang yang menjunjung tinggi hukum Tuhan dan mematuhinya meski apa pun resikonya.
Saudara, milikilah kerinduan dan jadilah Sahabat Yesus. Dan mintalah kepada Tuhan supaya Anda dimampukan menjadi Sahabat Yesus.