[AkhirZaman.org] Apakah Yesus pergi ke sekolah? Apakah Yesus les matematika dan musik? Apakah Yesus pergi bermain kelereng dengan teman-temannya? Alkitab memang tidak menceritakan hal itu. Tetapi beberapa kebiasaan yang terjadi di zaman Yesus setidaknya dapat menceritakan apa yang terjadi, khususnya mengenai pendidikan Yesus pada waktu Ia kecil.
Memang Alkitab tidak mencatat kehidupan kanak-kanak Yesus. Kita hanya tahu bahwa setelah Ia diserahkan di Bait Tuhan dan ditantang oleh Simeon, kisah kanak-kanaknya nihil di Alkitab. Baru setelah Ia berusia 12 tahun, dikisahkan bahwa Ia kembali pergi ke Bait Tuhan bersama orangtuanya.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin Yesus berdialog dengan para ahli di Bait Allah jika Ia tidak belajar apa-apa sepanjang masa kanak-kanaknya. Seperti anak-anak Yahudi di zaman Yesus, Yesus rupanya juga berguru dari ayahnya. Pada masa itu, seorang ayah bukan hanya berfungsi sebagai orangtua tetapi juga sekaligus sebagai guru bagi anak-anaknya. Seorang ayah bertanggungjawab mengajarkan Taurat dan menceritakan tradisi Yahudi kepada anak-anaknya.
Menurut Talmud Yerusalem, sekolah yang didirikan oleh Raja Alezander Yanaeus pada abad pertama SM hanya dibuka untuk anak-anak yang tidak berayah lagi (anak yatim). Di sekolah itu, peran ayah yang hilang di dalam keluarga digantikan secara sempurna oleh para pengajarnya. Itu sebabnya, sampai usia 12 tahun bisa kita simpulkan bahwa Yesus tidak bersekolah karena ia masih memiliki ayah.
Sejak anak-anak berusia 5 tahun, para ayah bukan hanya mengajar mereka membaca dan menulis, tetapi juga membaca Taurat. Tidak heran bahwa pada saat anak-anak berusia 10 tahun, mereka dapat bersikap kritis terhadap hukum yang ada di Yahudi. Sebab di usia 10 tahun, anak-anak juga memelajari komentar-komentar orang bijak mengenai Kitab Suci.
ZAMAN YESUS DENGAN ZAMAN ANAK-ANAK KITA
Membandingkan zaman Yesus kecil dengan zaman anak-anak kita saat ini, tentulah sangat jauh berbeda. Kini para ayah sibuk bekerja untuk mencari nafkah. Mereka sepertinya total dikenal sebagai provider dan bukan teacher. Apalagi sejak kita memercayakan anak-anak kita kepada guru-guru di sekolah, guru les privat atau guru di tempat kursus. Kita merasa bahwa jika anak kita tidak mendapat nilai yang baik, kesalahan sepenuhnya adalah pada pengajarnya, dan bukan anak kita yang kurang memadai kecerdasannya.
Di zaman Yesus, anak-anak yang memiliki ayah tidak bersekolah, karena sekolah hanya terbatas untuk menggantikan peran ayah bagi anak-anak yang tidak memiliki ayah. Di zaman kita, justru banyak anak yang tidak memiliki ayah sulit menikmati pendidikan di sekolah-sekolah formal jika ibu mereka tidak dapat membiayai pendidikan mereka.
Di zaman Yesus, anak-anak belajar Taurat sebagai pelajaran utama dan bukan baca tulis sebagai kurikulum utamanya. Di zaman ini, anak-anak harus dapat baca tulis bahkan sebelum mereka mengenal Alkitab.
Di zaman Yesus, anak-anak usia SD sudah dapat memahami hukum, Taurat dan komentar-komentar orang bijak mengenai Kitab Suci. Di zaman anak-anak kita, mereka sibuk dengan pelajaran di sekolah sampai-sampai untuk mencari kitab Mazmur, Matius atau Markus pun mereka tidak bisa membedakan mana yang ada di Perjanjian Lama dan mana yang ada di Perjanjian Baru.
SEMUANYA TUGAS GURU AGAMA?
Bagaimana dengan guru-guru agama? Apakah peran mereka sekarang? Guru agama di dalam Sekolah Kristen berfungsi sebagai guru yang khusus mengajarkan isi Alkitab. Berdasarkan kurikulum yang sudah disusun, mereka bukan hanya sekadar mengajarkan anak-anak kita membaca Alkitab, tetapi juga memahami pesan Tuhan secara sederhana. Di samping itu, guru agama bertugas membuat anak-anak lebih memahami cerita Alkitab secara detail, bahkan berinteraksi untuk menemukan pesan moral di dalamnya. Tak jarang guru-guru agama juga memberikan pengajaran dan penilaian tambahan untuk masalah karakter atau tingkah laku anak, sebab seorang anak yang memahami firman Tuhan setidaknya diharapkan memiliki perilaku yang sesuai dengan pesan Tuhan itu.
Namun apakah peran guru-guru agama sudah dianggap cukup untuk menggantikan peran ayah seperti di zaman Yesus? Saya kira, tidak! Para guru (minta maaf) tidak dapat menggantikan peran ayah di rumah untuk membesarkan anak-anak sehingga anak-anak takut akan Tuhan. Sebab ketika para ayah di zaman Yesus mengatakan, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dengan segenap akal budimu,” anak-anak mereka dapat langsung melihat kecintaan ayah mereka kepada Tuhan pada saat makan bersama, pada saat menyelesaikan masalah yang ada dalam rumah tangga, dan bahkan pada saat menghadapi anggota keluarga yang sakit. Dengan kata lain, model ayah sebagai pelaku firman akan lebih berbicara daripada (sekali lagi maaf) para guru yang hanya berhadapan dengan anak secara formal.
Selain guru-guru di Taman Kanak-kanak, saya kira tidak ada guru di Sekolah Dasar yang masih memangku anak-anak didiknya, atau mencium mereka sebagai tanda kasih sayang, atau memeluk saat si anak berbuat salah. Tetapi di rumah? Seorang ayah, sampai anak-anak mereka berusia dewasa sekalipun, dapat melakukan ketiga hal di atas sebagai bukti bahwa mereka mengasihi anak-anak mereka. Hanya orangtua yang mengasihi anaknya sedemikian itulah yang berhak memberikan disiplin dan hukuman yang dapat dirasakan anaknya sebagai hukuman yang dilakukan dengan penuh cinta.
Tentu saja argumen di atas bukan hendak menyudutkan atau mengecilkan fungsi guru agama (maupun guru lainnya—ed) di sekolah, melainkan hendak memberitahukan para orangtua atau para ayah, bahwa sesungguhnya fungsi ayah di zaman Yesus masih diperlukan oleh anak-anak di zaman ini. Dan bahwa peran guru agama atau guru lainnya di sekolah tidak dapat menggantikan peran ayah yang mulia itu.
PERAN AYAH MASA KINI
Lalu pertanyaannya, apa peran ayah di zaman Yesus masih relevan di zaman ini? Taurat di zaman kini dapat kita samakan dengan Alkitab yang kita miliki, sedangkan hukum yang dipelajari anak-anak di zaman Yesus boleh juga kita samakan dengan berbagai ajaran karakter yang juga diajarkan di berbagai sekolah anak-anak kita. Selain itu, komentar-komentar orang bijak di zaman Yesus dapat kita samakan dengan ajaran kitab Amsal yang kaya akan nasihat-nasihat bagi kehidupan.
Masalahnya, bukan hanya tiga hal itu saja yang diajarkan oleh ayah pada zaman Yesus. Di dalam Ulangan 6:7-9 misalnya, para ayah memiliki kesempatan untuk mengingatkan dan meneladani ajaran mereka kepada anak-anak:
- Saat mereka duduk bersama atau duduk-duduk bersama di rumah
- Saat mereka berada di dalam perjalanan
- Saat mereka berbaring dan bangun tidur
- Sebagai simbol di tangan mereka
- Sebagai lambang di dahi mereka
- Sebagai tulisan di pintu rumah dan pintu gerbang
Berpedoman pada kebiasaan para ayah di zaman Yesus (di zaman orang Yahudi juga), para ayah di zaman ini setidak-tidaknya dapat melakukan hal-hal berikut ini:
- Saat kita duduk bersama atau duduk-duduk bersama dengan anak di rumah, jauhkanlah tontonan dan mainan dari genggaman kita, atau lebih tepatnya, sediakanlah waktu setiap hari untuk duduk atau duduk-duduk bersama anak di rumah. Genggamlah sebuah buku pedoman, buku bacaan rohani, buku yang dapat dijadikan pegangan ajaran atau Alkitab. Bacakanlah itu sesuai dengan kapasitas atau kemampuan konsentrasi anak. Nyatakanlah pesannya bagi kehidupan anak dan terapkanlah ajaran tersebut bersamanya.
- Saat orangtua dan anak-anak berada di dalam perjalanan, di bus, mobil, pesawat atau lainnya, nyanyikanlah lagu-lagu sederhana yang membangun iman dan keyakinan anak-anak bahwa orangtua mereka beriman dan mencintai Tuhan. Lakukanlah itu berulang-ulang sehingga menjadi lagu favorit keluarga. Percayalah, lagu-lagu itu akan diingat anak seumur hidup mereka.
- Saat anak-anak berbaring dan bangun tidur, sapalah mereka dengan ungkapan cinta. Hafalkanlah ayat-ayat hafalan bersama atau ceritakanlah kisah-kisah masa lalu orangtua yang berharga untuk mereka inggat. Pengalaman baik dan buruk memperkaya anak-anak untuk mengetahui bahwa hidup ini harus dijalankan bersama Tuhan dan untuk Tuhan.
- Sebagai simbol di tangan, di dahi, di pintu dan pintu gerbang rumah. Simbol-simbol yang mengingatkan anak-anak untuk mencintai Tuhan dan mencintai sesama merupakan pelajaran yang sangat berharga di alam kehidupan mereka. Foto-foto keluarga, tulisan-tulisan yang membangun atau hadiah-hadiah yang disiapkan bersama mereka untuk orang-orang yang dikasihi dan orang-orang yang membutuhkan, merupakan penerapan dari ajaran yang keluar dari mulut orangtua.
Apakah kita sebagai orangtua, khususnya ayah, mau meyakini bahwa peran ayah di zaman Yesus, masih relevan bagi kita di zaman ini?
“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”(Efesus 6:4)
Tuhan memberkati .