Anak yang Hilang

akhir zaman

[AkhirZaman.org] Perumpamaan tentang anak yang hilang merupakan perumpamaan yang paling terkenal di antara 3 perumpamaan yang tedapat di Lukas 15. Melalui perumpamaan inilah Yesus menjawab tuduhan dari para pemimpin Yahudi dan menyanggah kepercayaan mereka yang menyatakan bahwa orang yang berdosa harus diperlakukan dengan acuh tak acuh. Dalam perumpamaan-perumpamaan ini hal-hal yang hilang bukan merupakan obyek dari keacuhan melainkan dari kasih dan kepedulian, mengilustrasikan bagaimana cara TUHAN menghadapi orang-orang berdosa.
 
Masalah Ganda

Perumpamaan tentang anak yang hilang terbagi menjadi 2 bagian. Bagian yang pertama menceritakan tentang anak yang bungsu (ayat 11-24), dan bagian kedua menceritakan tentang anak yang sulung (ayat 25-32). Anak yang bungsu mewakili “mereka yang pernah mengenal kasih Bapa, namun telah mengijinkan si penggoda untuk menggiring mereka menjadi tawanan di bawah kendalinya.” (Perumpamaan Yesus, hal 198). Walaupun ia (anak bungsu) “memboroskan harta miliknya dengan hidup berfoya-foya” di “satu negeri yang jauh” (ayat 13), namun cerita ini berakhir dengan frase “Maka mulailah mereka bersukaria” (ayat 24). Cerita ini memiliki akhir yang bahagia.
 
Cerita tentang anak bungsu ini lebih seing  diceritakan daripada cerita tentang si anak sulung, namun pelajaran dari bagian yang kedua sama pentingnya dengan yang pertama. Anak yang sulung tidak hanya melambangkan “para orang Yahudi yang belum bertobat pada masa Yesus” namun “para Farisi di segala zaman, yang memandang dengan hina terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai pemungut cukai dan pendosa.” (ibid., hal 209)
 
Dalam perumpamaan tersebut kedua anak itu dianggap hilang, si bungsu setelah ia meninggalkan rumah, dan si sulung saat ia masih tinggal di rumah Bapanya. Si bungsu menjadi anak yang hilang saat ia meninggalkan Bapanya  dan memutuskan hubungannya dengan Bapanya, sedangkan si sulung selalu menjadi anak yang hilang, karena ia tidak pernah memiliki hubungan yang semestinya dengan Bapanya. Anak yang sulung ini masih dapat ditemukan di tengah-tengah mereka yang dengan setia pergi ke gereja setiap minggunya, bahkan sampai hari ini.
 
Masalah Anak Sulung

Jadi apa yang menjadi masalah dari anak yang sulung tersebut? Itu semua dapat ditemukan dalam jawabannya ketika Bapanya keluar dan berbicara padanya. “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.” (ayat 29,30)

1. Dia dipenuhi dengan perasaan bahwa dirinya baik
 Anak ini percaya bahwa dia baik karena dia tidak pernah tidak mentaati Bapanya. Secara tampak luar dia adalah seorang anak yang taat, dan dia mengemukakan ketaatannya sebagai dasar dari kebaikannya. Namun ia telah melupakan satu hal yang terpenting—yang membuatnya baik di mata Bapanya bukanlah ketaatannya namun hubungannya dengan Bapa. Hubungan ini tidak berdasar pada apa yang telah ia lakukan namun apa yang telah dilakukan Bapanya.

Seperti itu juga, ada banyak orang sekarang ini yang berbangga hati atas apa yang telah mereka perbuat bagi TUHAN dan gereja, dan mereka “dipenuhi oleh perasaan bahwa dirinya baik” karena mereka berpikir bahwa “mereka ridak pernah melakukan perbuatan jahat yang besar.” (ibid.). Kita harus ingat, bagaimanapun juga, bahwa apa yang membuat kita baik di mata TUHAN bukanlah perbuatan kita namun apa yang Yesus telah lakukan bagi kita.

2. Dia bekerja sebagai seorang pelayan gantinya melayani seperti seorang anak
Anak yang sulung mengeluh kepada ayahnya tentang tahun-tahun yang telah ia habiskan untuk bekerja bagi ayahnya yang tidak tampak mendapatkan penghargaan yang kentara. Memberikan gambaran yang lebih dalam tentang keluhan ini, Ellen White menjelaskan:
 
“Ketika sang Bapa keluar untuk membujuknya, sifat angkuh dan dengki nya terungkap. Dia menganggap kehidupannya selama di rumah bapanya sebagai sebuah putaran pelayanan yang tak berbalas, dan meletakkan kontras kekikiran terhadap kebaikan yang ditunjukkan kepada anak yang baru saja kembali. Dia membuat semuanya begitu jelas bahwa pelayanannya selama ini merupakan pelayanan seorang pelayan/hamba gantinya seorang anak. Ketika dia seharusnya memiliki sukacita daiam hadirat bapanya, pikirannya hanya disandarkan pada keuntungan yang akan diperoleh dari kehidupannya yang berhati-hati. Kata-katanya menunjukkan bahwa untuk semua keuntungan itulah ia telah meninggalkan kenikmatan dosa.” (ibid., hal 207,208)
 
Untuk Keuntungan atau Sukacita?
Hak istimewa kita sebagai anak-anak TUHAN bukanlah dengan menerima sesuatu dariNya, namun dalam melayani Dia sebagai anak-anakNya. Pada jaman Kristus, orang Farisi “mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak di dalam rumah TUHAN, namun mereka memiliki roh sebagai ahli waris. Mereka bekerja, bukan didasari oleh kasih, namun dari harapan akan upah.” (ibid, hal 209). Bagaimana dengan kita sekarang ini?
 
Segala Kepunyaanku
Apa yang dikatakan sang Bapa kepada anaknya dalam perumpamaan ini merupakan apa yang Bapa Surgawi katakan kepada kita hari ini. Dia berbicara kepada anak-anaknya yang berada di dalam rumahNya, “Segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” (ayat 31).

Ini berarti bahwa apapun yang menjadi milikNya telah diberikan kepada kita sebagai sebuah hadiah yang cuma-cuma dari kasih Bapa. Satu-satunya hal yang ia harapkan dengan memberikan semuanya ini adalah bukan supaya kita hidup sebagai hamba/pelayannya namun sebagai anak-anaknya. Dia sangat rindu supaya kita dapat menikmati hidup kita sebagai anak-anakNya.
 
3. Anak yang sulung tersebut tidak menganggap adiknya sebagai seorang adik.
Anak yang sulung itu tidak pernah menganggap si anak bungsu sebagai adiknya. Sang bapa dan juga para pelayan menyebutnya sebagai “adikmu” (lihat ayat 27), namun anak sulung itu menyebutnya semata sebagai “Anak Bapa” (ayat 30).
 
Anak sulung itu marah ketika ia mendengar tentang kepulangan adiknya dan sambutan hangat ayahnya. Perilaku ini menunjukkan bahwa dia tidak peduli terhadap apa yang terjadi kepada adiknya—itu tampak seolah ia tidak pernah menginginkan adiknya kembali dengan selamat.
 
Sebaliknya, sang bapa begitu cemas akan keselamatan dari anaknya yang hilang. Sejak pada hari dimana anak muda itu pergi, ayahnya selalu menantikan kepulangannya. Oleh karena itulah, bahkan “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.” (ayat 20). Namun karena kakak yang lebih tua ini tidak ikut merasakan kecemasan bapanya terhadap anak yang hilang itu, maka ia juga tidak ikut merasakan sukacita bapanya saat anak yang hilang itu kembali ke rumah.
 
Ikut Merasakan Kepedihan dan Sukacita Bapa
Sama seperti si anak yang seharusnya ikut merasakan kepedulian dan sukacita ayahnya terhadap adiknya yang tidak patuh, anak-anak Bapa Surgawi pun harus ikut merasakan kepedihan dan sukacita Bapa.

Dengan tidak ikut merasakan kepedulian bapanya, si anak sulung sengaja menyangkal fakta bahwa sang bapa masih mengasihi anak yang hilang itu dan bahwa sang bapa bagitu antusias menantikan kepulangannya. Ini memberitahu kita bahwa dia tidak pernah menjadi anak yang sejati bagi ayahnya.
 
Sebagai putra putri Allah, kita harus ingat bahwa Ia mengasihi orang-orang berdosa. Semua orang berdosa itu, yang menjadi obyek kasih Bapa di surga juga harus menjadi obyek kasih kita. Dalam perumpamaan tersebut tidak pernah terjadi sekalipun dimana sang bapa tidak mengakui anak yang hilang itu sebagai anaknya. Ia tidak pernah berhenti menjadi bapanya. Seperti itu juga, Bapa di surga tidak pernah meninggalkan anak-anakNya yang hilang. Oleh karena itu, kita harus mengakui mereka yang hilang bukan sebagai “anakMu” namun sebagai saudara dan saudari kita.

Dalam perumpamaan itu si anak bungsu “telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (ayat 32). Namun bagaimana dengan anak sulung yang hilang ketika tinggal di dalam rumah? Apakah ia akan ditemukan kembali? Jawaban dari pertanyaan ini bergantung pada keputusan kita masing-masing.

___________
Oleh: Kyung Ho Song, Ph.D. 9 Juni 2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top