[AkhirZaman.org] Beberapa waktu belakangan ini, dari beberapa teman saya kadang mendengar issue seputar pengurapan wanita dalam tugas pelayanan gereja. Dan yang paling hangat tentunya adalah pengurapan imam wanita dari Gereja Katolik pada 25 April lalu di Morristown, New Jersey, Amerika. Di antara beberapa kalangan gereja itu sendiri terjadi pro dan kontra sebagaimana yang diberitakan di https://goo.gl/nmcmLS
Sementara di kalangan gereja Kristen Protestan, sudah begitu lama dan banyak denominasi gereja Kristen yang mengurapi pendetanya dari kalangan para wanita. Sesungguhnya, apakah yang Alkitab katakan mengenai pengurapan wanita? Pada dasarnya Alkitab tidak pernah mencatat bahwa Allah mengijinkan pengurapan wanita. Bahkan beberapa ayat mencatat bahwa wanita yang terlibat sebagai imam yang diurapi dalam upacara keagamaan adalah dari kalangan penyembahan agama kekafiran.
Mari kita lihat 2 Raja 23:7, “Ia merobohkan petak-petak pelacuran bakti yang ada di rumah TUHAN, tempat orang-orang perempuan bertenun sarung untuk Asyera.” Ayat ini berbicara mengenai apa yang dilakukan oleh Yosia ketika dia menjadi raja. Dalam 2 Raja 22:2 menuliskan seperti apakah Yosia sebagai raja, “Ia melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan hidup sama seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri.”
Dan berdasarkan 2 Raja 23:7 tadi, salah satu yang dilakukan Yosia untuk membawa Yehuda meninggalkan kemurtadan adalah dengan “merobohkan petak-petak pelacuran bakti yang ada di rumah Tuhan.” Kurang dijelaskan mengenai yang dimaksud dengan “pelacuran bakti”, namun di Terjemahan Lama Bahasa Indonesia bahwa itu merujuk pada “bilik orang zindik.” Apakah itu “orang zindik” ? Berdasar kamus bahasa Indonesia, mereka adalah adalah “orang-orang yang murtad atau yang tersesat imannya.”
Namun yang menarik, ayat itu menjelaskan mengenai siapakah yang ada di “petak-petak pelacuran bakti” itu. Dikatakan di kalimat terakhir 2 Raja 23:7, itu adalah “tempat orang-orang perempuan bertenun sarung untuk Asyera.”
Apa yang dilakukan para perempuan ini berdasar ayat itu? Bertenun sarung untuk Asyera. Siapakah Asyera? Dalam Terjemahan Lama Bahasa Indonesia atau KJV, kata Asyera diterjemahkan sebagai “grove” atau “dewa-dewa hutan.” Dan apa yang para perempuan lakukan? Bertenun. Apa itu bertenun? Tentu saja membuat barang-barang tenun. Dalam Terjemahan Sehari-hari dijelaskan lebih lengkap bahwa itu merujuk kepada menenun kain untuk dipakai dalam penyembahan kepada Dewi Asyera.
Dari ayat itu kita bisa mendapat gambaran bahwa perempuan berperan dalam peribadatan agama kafir, dan bahkan sosok berhala yang disembah pun adalah perempuan karena dikatakan sebagai “dewi.” Namun dalam peribadatan umat Tuhan tidak pernah perempuan memiliki posisi yang seperti itu.
Dan satu kisah lagi yang dapat kita gunakan untuk membuktikan bahwa mengurapi wanita sebagai imam atau pendeta tidak mendapat restu dari Alkitab. Mari kita pergi ke Kisah Para Rasul 19:1-20. Ini adalah saat Paulus berkunjung ke kota Efesus, dan di ayat 18 dan 19 mengatakan bahwa banyak orang di kota itu yang bertobat.
Namun tidak lama kemudian di ayat 23 dituliskan bahwa “kira-kira pada waktu itu timbul huru-hara besar mengenai Jalan Tuhan.” Dan di ayat 24 disebutkan “seorang bernama Demetrius, seorang tukang perak, yang membuat kuil-kuilan dewi Artemis dari perak. Usahanya itu mendatangkan penghasilan yang tidak sedikit bagi tukang-tukangnya.” Selama ini pekerjaannya sebagai pembuat atau pemahat patung dewi Artemis memberikan banyak keuntungan.
Tetapi tentunya mempengaruhi penghasilannya seiring menurunnya pesanan atau penjualan patung buatan Demetrius karena dampak penginjilan yang Paulus lakukan di kota itu telah membawa banyak orang kepada pertobatan dan tak lagi menyembah berhala. Kemudian dia mencoba menghasut rekan-rekannya untuk menangkap dan menganiaya Paulus. “Saudara-saudara, kamu tahu, bahwa kemakmuran kita adalah hasil perusahaan ini! Sekarang kamu sendiri melihat dan mendengar, bagaimana Paulus, bukan saja di Efesus, tetapi juga hampir di seluruh Asia telah membujuk dan menyesatkan banyak orang dengan mengatakan, bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa. Dengan jalan demikian bukan saja perusahaan kita berada dalam bahaya untuk dihina orang, tetapi juga kuil Artemis, dewi besar itu, berada dalam bahaya akan kehilangan artinya. Dan Artemis sendiri, Artemis yang disembah oleh seluruh Asia dan seluruh dunia yang beradab, akan kehilangan kebesarannya.’ Mendengar itu meluaplah amarah mereka, lalu mereka berteriak-teriak, katanya: ‘Besarlah Artemis dewi orang Efesus!’” (ayat 25-28).
Namun mari kita kerucutkan pembahasan kita. Artemis adalah dewi. Tentunya bila disebut dewi maka sudah barang tentu itu adalah merujuk kepada perempuan. Sekali lagi Alkitab mengatakan bahwa perempuan akan mendapat tempat atau posisi sebagai pemimpin bila itu mengacu pada agama-agama kekafiran.
Kita dapat melihat bahwa Tuhan tidak pernah menginjinkan seorang wanita untuk diurapi sebagai imam atau pendeta. Tetapi barangkali Anda akan bertanya, bukankah pada zaman Yesus ada banyak wanita yang menjadi murid Yesus dan turut serta dalam pelayanan Yesus?
Atau Alkitab sendiri juga mencatat ada beberapa nabiah (nabi perempuan) Tuhan, contohnya adalah Hana (Lukas 2:36). Namun dari semuanya Allah tidak pernah mengurapi para wanita itu.
Bila Anda memperhatikan para imam atau jabatan lain dalam sejarah bangsa Israel, Tuhan tidak pernah memilih perempuan untuk menempati posisi atau jabatan yang memerlukan pengurapan. Apakah ada imam yang yang diurapi yang bekerja di Bait Suci adalah perempuan? Atau pernah seorang perempuan diurapi untuk menjadi raja Israel? Tidak ada satu pun ayat Alkitab yang mengiyakan.
Rasul Paulus memperjelas ini tatkala dia menuliskan di dalam 1 Timotius 3:2, 4, 5, “Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, … seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?”
Siapakah penilik jemaat? Dalam bahasa aslinya itu merujuk kepada pekerjaan seorang pendeta maupun ketua jemaat yang memang membutuhkan pengurapan. Siapakah yang dapat menjadi pendeta atau ketua jemaat yang diurapi menurut Paulus? Dari ayat itu dengan jelas menegaskan bahwa penilik jemaat yang membutuhkan pengurapan haruslah pria, karena ayat-ayat itu menyinggung kepada suami atau kepala keluarga. Bila kita berbicara tentang suami atau kepala keluarga, sudah tentu kita mendapat informasi yang jelas bahwa dia adalah pria.
Lalu ayat 8 dia menyinggung mengenai diaken, dan ayat 12 dia menegaskan bahwa “diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik.” Kembali Paulus memberikan petunjuk bahwa diaken yang diurapi (atau yang kita kenal sekarang sebagai diakon) haruslah pria.
Namun beberapa orang yang mendukung pengurapan wanita mengatakan bahwa kita tidak bisa menerapkan penulisan 1 Timotius 3:1-13 secara literal. Mereka beralasan bahwa pada saat itu, penulisan Alkitab berorientasi pada budaya patrialis atau pria sebagai pusat atau sosok sentral dalam sosial (terutama dalam Perjanjian Lama); namun penerapan maksud-maksud penulisan Alkitab tidaklah literal sehingga konteks 1 Timotius 3 itu juga berlaku bagi wanita. Mereka beralasan bila diterapkan secara literal, maka Sepuluh Perintah dalam Keluaran 20 hanya berlaku bagi pria; sehingga wanita tidak dianggap berdosa bila mencuri atau membunuh atau melanggar kekudusan Sabat.
Saya setuju bilamana gaya penulisan Alkitab, terutama dalam Perjanjian Lama, condong ke arah patrialis. Namun Paulus tidak meninggalkan kita dalam keragu-raguan. Bilamana Anda memperhatikan buku-buku tulisannya maka kita mendapati bahwa dalam gaya penulisannya Paulus tidak seluruhnya menggunakan gaya bahasa patrialis. Sehingga bilamana saat akan menyinggung pria dia akan memperjelas bahwa maksud tulisannya memang ditujukan kepada pria, namun jika dia bermaksud menuliskan nasihat bagi wanita maka dia akan memperjelas bahwa itu dia tujukan kepada wanita.
Kita bisa melihat fakta itu saat dia menulis 1 Timotius 3:1-13, di mana dia memang menujukan maksudnya itu bagi pria. Namun tunggu dulu, kecuali ayat 11 dia menujukan itu bagi wanita, “Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal.” Ataupun di 1 Timotius 5:9 ketika dia menuliskan hak-hak seorang janda, “Yang didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari enam puluh tahun, yang hanya satu kali bersuami.” Dalam KJV dikatakan bahwa yang dulunya adalah “isteri dari seorang suami.”
Jadi, dari keseluruhan ayat 1-13 Paulus memang sengaja menuliskan banyak hal yang mengatur tentang penunjukan pria untuk menduduki jabatan yang memerlukan pengurapan, tapi khusus ayat 11 dia menyinggung peran wanita supaya menjadi isteri yang terhormat bagi suaminya, bukan pemfitnah, dapat menahan diri dan dapat dipercaya, apalagi bilamana sang suami diurapi untuk menjalankan tugas pelayanan sebagai pendeta atau ketua jemaat yang memang membutuhkan pengurapan.
Sekali lagi, penerapan dari penulisan 1 Timotius 3:1-13 adalah secara literal, yang berarti ketika dia menyebut sehubungan dengan syarat jabatan pelayanan sebagai penilik jemaat (pendeta atau ketua jemaat) dan diakon, maka itu memang ditujukan bagi pria. Dan khusus ayat 11 dia juga menyinggung atau memberi nasihat bagi para wanita yang menjadi isteri dari suami yang memangku jabatan tugas pelayanan yang membutuhkan pengurapan seperti pendeta atau ketua jemaat dan diakon.
Tetapi, beberapa orang beranggapan bahwa penulisan “suami dari seorang isteri” atau isteri dari seorang suami” adalah untuk memastikan bahwa supaya tidak ada poligami, apalagi jika itu adalah pendeta, ketua jemaat atau diakon. Bisa jadi adalah demikian, dan bukankah memang harus demikian bila seseorang menduduki jabatan yang penting dalam gereja haruslah memiliki seorang isteri saja, karena bukanlah maksud Allah bahwa umat-Nya untuk berpoligami.
Namun sampai kapankah kualifikasi yang Paulus sebutkan ini berlaku? Atau di manakah kualifikasi ini dapat berlaku? Apakah masih tetap berlaku di zaman kita? Paulus tidak hanya menulis itu kepada Timotius, namun kepada Titus dia juga menuliskan hal yang sama (Titus 1:5-9). Kedua instruksi itu begitu identik. Meskipun Timotius melayani di Efesus, salah satu kota terbesar di kekaisaran, dan Titus bekerja di Kreta, sebuah pulau dengan kota-kota kecil dan desa-desa. Instruksi Paulus dimaksudkan untuk diterapkan bukan saja di Efesus dan Kreta, tapi di mana pun Timotius dan Titus melayani di tahun-tahun kemudian (bahkan kalau seandainya mereka berdua masih hidup hingga sekarang).
Memang, penunjukan tua-tua itu penting karena Timotius dan Titus, seperti Paulus, yang berkeliling, dan akan segera beralih ke ladang misi berikutnya. Instruksi Paulus tidak terikat waktu dan budaya tertentu, tetapi abadi, pedoman universal untuk semua Gereja Kristen.
Bagaimana dengan ayat di dalam 1 Korintus 14:34, di mana Paulus mengatakan “perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat”? Kalau begitu, sebagaimana perempuan tidak boleh menduduki jabatang yang membutuhkan pengurapan, sekalianlah para perempuan tidak boleh mengambil pelayanan dalam ibadah gereja.
Maksud ayat ini adalah untuk menyinggung tentang ketertiban ibadah. Unsur-unsur yang mengganggu di Gereja Korintus kala itu adalah:
1. Orang-orang yang berbicara dalam bahasa asing tanpa seorang penerjemah (ayat 27-28).
2. Orang-orang yang mulai bernubuat sementara orang lain masih berbicara (ayat 29-33).
3. Dan wanita yang terus ribut mengajukan pertanyaan selama kebaktian gereja (ayat 34-35).
Paulus menggunakan kata-kata kasar untuk diam, “sigao”, tetapi intinya adalah bahwa bukannya perempuan tidak boleh berbicara, tetapi bahwa mereka jangan mengganggu. Sebaliknya, dalam 1 Tim. 2:11, di mana Paulus mengatakan bahwa “perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh.” Bahasa asli yang digunakan bukanlah “sigao” tapi “hesychia”, yang juga digunakan dalam 1 Timotius 2:2, di mana Paulus mendorong kita untuk berdoa bagi mereka yang berkuasa supaya kita bisa hidup “hidup tenang dan tenteram.”
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa ajaran Alkitab bukan melarang perempuan tidak boleh berbicara di gereja, tetapi supaya mereka harus:
1. Tidak mengganggu ketertiban ibadah.
2. Tidak otoritatif mengajar seorang pria di gereja, yang berarti tidak merebut fungsi otoritatif pria dewasa untuk mengajar.
Dari artikel kali ini maka dapat kita ketahui bahwa wanita tidak dapat memegang jabatan pelayan di gereja yang membutuhkan pengurapan seperti pendeta, ketua jemat maupun diakon. Namun bukan berarti wanita tidak boleh terlibat dalam peribadatan gereja atau tidak boleh aktif dalam pekerjaan Tuhan. Yesus sendiri semasa pelayananNya di dunia dua ribu tahun silam begitu memberi kesempatan bagi para wanita untuk menjadi pengikutNya. Bahkan yang pertama mengetahui Yesus bangkit adalah wanita (Lukas 24:1-10), dan kepada para wanitalah Dia pertama-tama menampakkan diri setelah kebangkitanNya (Matius 28:9, 10). Namun sekali lagi Alkitab tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan memberikan otoritas untuk mengurapi wanita sebagai pendeta, atau ketua jemaat.
Untuk mengkhiri pelajaran kita kali ini, mari kita baca apa yang dikatakan seorang pria yang bernama, “Jika kita pernah datang ke tempat sebagai Gereja di mana kita bisa menafsirkan “suami dari satu istri” sama dengan “istri satu suami” atau hanya “pria atau wanita yang setia,” maka sama saja dengan kita akan menerjemahkan ayat-ayat Alkitab sesuai yang kita inginkan atau sesuai budaya di sekitar kita. Mungkin, sebagai Gereja (umat Tuhan), kita sekarang sedang diuji, apakah kita akan terus mempertahankan Alkitab sebagai otoritas iman dan praktek sehingga kita, setelah melewati ujian ini, akan siapkah untuk ujian besar yang akan ada tepat di depan berkaitan dengan pernikahan sesama jenis dan bahkan hari Sabat?”