Dalam pelajaran yang lalu (yang pertama dari topik ini), Abraham mendapat janji dari Tuhan dalam perjanjian antara mereka bahwa dia akan menerima suatu negeri yang akan diberikan kepadanya jika ia mau menurut Allah untuk pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Namun sampai mati ia tidak mendapat negeri yang dijanjikan itu dan hanya “melihatnya dengan iman” yang penuh kepada Tuhan yang menjanjikannya (Ibrani 11:8, 10, 13). Dan iman inilah yang Abraham wariskan kepada generasi-generasi berikutnya hingga kepada kita sekarang ini.
[AkhirZaman.org] Dalam hubungannya dengan kita, sesungguhnya janji itu, memiliki makna atau aplikasi juga untuk kita. Bahwa ada perjanjian yang Allah juga buat kepada kita, dan dengan iman pula kita tidak hanya akan melihatnya namun berpeluang untuk menerimanya. Dan kita akan pelajari dalam pembahasan kali ini.
3. Janji Allah Itu Disertai Sumpah
“Tetapi kami ingin, supaya kamu masing-masing menunjukkan kesungguhan yang sama untuk menjadikan pengharapanmu suatu milik yang pasti, sampai pada akhirnya, agar kamu jangan menjadi lamban, tetapi menjadi penurut-penurut mereka yang oleh iman dan kesabaran mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan Allah. Sebab ketika Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham, Ia bersumpah demi diri-Nya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari pada-Nya . . . Karena itu, untuk lebih meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusan-Nya, Allah telah mengikat diri-Nya dengan sumpah.” – Ibrani 6:11-13, 17.
Allah hendak mengajar kita sesuatu yang amat penting. Allah menghendaki kita mempercayai janji-janjiNya secara ABSOLUT (tanpa keraguan). Kita harus memiliki suatu pengharapan YANG PASTI. Biarlah masing-masing kita mengetahui bahwa beragama, dengan tidak disertai suatu pengharapan yang pasti, adalah beragama yang tanpa tujuan.
Agama adalah suatu hubungan dengan Allah yang dinamis dan hidup. Agama adalah pembentukan suatu kepercayaan oleh suatu makhluk yang diciptakan terhadap Allah yang menciptakannya. Agama adalah suatu jalinan kepercayaan di antara manusia dan Allahnya seperti di antara seorang anak kecil dan ayah-ibunya.
Janganlah hal ini dianggap sebagai suatu ucapan untuk memperindah suatu konsep saja. Bukan! Kecuali dapat dibentuk suatu kepercayaan dari kita terhadap Allah kita sama seperti kepercayaan anak yang masih kecil terhadap orangtuanya, agama kita adalah bagaikan tempayan kosong atau yang mengeluarkan bunyi apabila dipukul, tetapi yang tidak mempunyai bobot isi.
Abraham adalah nenek moyang kita yang beragama. Walaupun grafik iman Abraham tidak selalu menanjak secara lurus ke atas, Abraham mempunyai suatu hubungan yang hidup dengan Allahnya. Walaupun Abraham belum memperoleh apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya, ia telah mendapat bagian dalam apa yang telah dijanjikan itu oleh imannya.
Allah telah bersumpah demi diri-Nya sendiri, bahwa Ia akan memenuhi janji-Nya itu. Apakah sebabnya Allah telah bersumpah sedangkan Yesus telah mengajar kita supaya tidak bersumpah?
“Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah…….. Janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun.” – Matius 5:34, 36.
Yesus telah melarang kita untuk bersumpah oleh karena kita tidak mempunyai kuasa untuk memegang atau memenuhi janji-janji yang telah kita katakan dengan sumpah itu. Manusia tidak dapat diandalkan! Manusia tidak dapat menentukan hari esoknya sendiri dan tidak dapat memastikan apakah ia dapat melaksanakan apa yang telah ia rencanakan! Manusia selalu mempunyai kecenderungan untuk menipu hatinya sendiri! Bagaimanakah manusia, yang demikian keadaannya, dapat bersumpah?
Lain halnya dengan Allah. Allah menguasai segala sesuatu dan Ia memegang kendali atas segala sesuatu yang bakal terjadi. Apa yang dikatakan-Nya dengan sumpah sudah pasti dapat Ia penuhi atau genapi.
Sumpah Allah mempunyai tujuan untuk menekankan kepada kita, bahwa apa yang telah dikatakan-Nya dengan sumpah itu tidak berkondisi. Artinya, apa yang telah dikatakan-Nya dengan sumpah, kegenapannya tidak lagi tergantung atas terpenuhinya apa syarat.
Contoh: Pada waktu Allah mengutus Yunus untuk memberitakan pembinasaan kota Ninewe, pembinasaan itu tergantung atas mau bertobatnya penduduk-penduduk Ninewe atau tidak. Pembinasaan itu adalah bersyarat. Pada waktu penduduk Ninewe menyesali perbuatan-perbuatan jahat mereka, lalu mereka berkabung dan duduk di atas abu, Allah telah menghindarkan pembinasaan itu dari mereka.
Tetapi pembinasaan dunia kita ini dengan api sehingga segala sesuatu akan menjadi cair, dan pembentukan suatu langit dan bumi yang baru yang akan diperintah Yesus sendiri, adalah suatu janji yang tanpa syarat. Mengenai hal ini, Tuhan telah berfirman dengan sumpah “untuk lebih meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusan-Nya.”
Bumi yang sekarang kita huni ini sudah dirusak oleh kejahatan , kekerasan, kekejaman, ketidakadilan, kegelojohan, dan segala daya-upaya yang hanya bersifat mementingkan diri sendiri. Bumi ini sudah tidak dapat diobati. Ibarat penyakit kanker yang telah mencapai tingkat parah, kejahatan di bumi ini sudah tidak dapat disembuhkan. Hanya ada satu tindakan terakhir yang dapat dilakukan Allah untuk menolong bumi ini, yaitu membakarnya habis-habis sehingga sesuatu yang baru dapat diciptakan untuk menggantikannya.
Itulah sebabnya Allah telah berbicara kepada Abraham dengan sumpah, dan Abraham mempercayai janji Allah tersebut. Abraham tidak menjadi lamban untuk mempercayai janji Allah itu. Ia telah menjadi penurut oleh iman dan kesabaran sehingga ia telah mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan itu.
Rasul Paulus telah menganjurkan kita masing-masing agar menunjukkan kesungguh-sungguhan yang sama seperti Abraham. Ia telah meminta agar kita memiliki suatu pengharapan yang pasti hingga akhirnya.