[AkhirZaman.org] Beberapa tahun yang lalu, sebagian besar dunia berbahasa Inggris mengalami suatu gejala yang tidak terduga sebagaimana air mengalir ke bukit. Setelah satu dekade penekanan pandangan bahwa “Tuhan telah mati,” setelah revolusi di kampus selama bertahun-tahun, dan serangan badai yang bertubi-tubi terhadap segala bentuk nilai-nilai dan kewenangan tradisional apapun—sesuatu yang membangkitkan rasa ingin tahu telah terjadi, dan di banyak tempat, dan pertama-tama dimulai di New York.
Di tahun pertama penampilannya, sebuah pertunjukan Broadway meraup hasil $20 juta dan terus meraup jutaan lagi. Dan nama pertunjukkannya? JESUS CHRIST SUPERSTAR! Tampaknya, hanya dalam semalam, Yesus telah menjadi “besar” dalam industri musik, untuk ditiru pertunjukkan dan film lainnya. Dan Ia membuka pasar yang melambung dalam industri buku karena banyak buku-buku terlaris membicarakan Dia dan KedatanganNya kedua kali.
Dalam koor JESUS CHRIST SUPERSTAR, satu pertanyaan besar diajukan: “Yesus Kristus, siapakah engkau?” Meskipun tidak ada jawaban yang benar diberikan, pertanyaan ini lebih mendalam daripada pertunjukan musik dan lebih luas daripada sekedar rasa ingin tahu. Bagi setiap orang di planet Bumi ini, tidak ada yang lebih penting daripada siapa Yesus itu, apa yang telah dilakukanNya, di mana Ia sekarang, dan apa yang sedang dilakukanNya sekarang bagi umat manusia.
Namun, kendati aneh kedengarannya, bahkan umat Kristen terpecah belah selama berabad-abad tentang siapa Dia sesungguhnya, mereka telah memberi tekanan berlebihan pada ke-Tuhan-an Yesus atau kemanusiaan Yesus. Jarang Yesus yang sesungguhnya diberi tempat yang benar. Ia telah digambarkan sedemikian beragam dan kadangkala dengan istilah-istilah aneh sehingga seorang pengamat yang penuh rasa ingin tahu mungkin akan bertanya, “Yang manakah Yesus yang sesungguhnya?”
Maka pertanyaan besar tetap muncul: “Yesus Kristus, siapakah engkau?” Siapakah Dia yang menjadi fokus dari “revolusi Yesus” di kalangan orang muda di dunia Barat di tahun 1970-an, barangkali suatu peristiwa yang paling tidak terduga dan tidak di-harapkan di zaman modern? Lalu kemudian, siapakah Dia yang dapat mengubah seorang skeptis yang hanya memikirkan dirinya sendiri di Palestina yang padat dua ribu tahun lalu menjadi pengikut-pengikut setia yang akan hidup dan mati bagi Dia?
Pertanyaan ”Yesus Kristus, siapakah engkau?” membayangi setiap orang yang mencari tujuan kehidupan atau yang mencoba lari dari suara batin yang menghantuinya dengan rasa bersalah. Kita dapat menghapuskan Dia. Kita dapat menyambut Dia, tanpa mengikut Dia dengan sungguh-sungguh. Kita dapat “menggunakan” Dia dengan menuntut pengampunan dariNya, tetapi bukan kuasaNya. Namun, kita tidak dapat benar-benar mengabaikan Dia. Ia selalu ada, tidak pernah hidup orang yang Seperti Dia.
Akan tetapi, siapakah Dia? Dari mana Dia berasal? Paulus, ketika menulis surat kepada orang Ibrani, menyebutkan status Yesus sebagai yang “memimpin” (12:2) dan catatan kemanusiaanNya memungkinkan Dia untuk dianggap sebagai “pimpinan yang sempurna bagi umat manusia”: “Sebab memang sesuai dengan keadaan Allah–yang bagiNya dan olehNya segala sesuatu dijadikan—,yaitu Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan, juga menyempurnakan Yesus, yang memimpin mereka kepada keselamatan, dengan penderitaan… Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu” (Ibrani 2:10, 11).
Namun, siapakah Dia? Dari manakah Ia berasal? Bagi Paulus, Yesus adalah Manusia yang menjadi patokan bagi umat manusia. Ia telah menunjukkan kepada pria dan wanita seperti apakah umat manusia dalam kondisi terbaiknya.
Para penulis Alkitab juga menjelaskan bahwa Yesus menunjukkan kepada kita seperti apakah Tuhan itu, bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dalam segala hal. Yohanes menyatakan: “Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). “Dan Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (ayat 14). Yesus menyatakan misi ilahiNya: “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya. Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada” (17:4, 5).
Jikalau kita harus menjawab pertanyaan yang membayangi itu, Yesus Kristus, siapakah Engkau? Kita harus memulai dari dimana orang-orang Kristen pertama kali bertemu dengan Dia dan harus membuat keputusan. Mereka mengenal Dia sebagai seorang manusia yang sepenuhnya terlibat dalam kemanusiaan mereka. Dia bukanlah seorang “astronot balik” yang datang ke dunia ini dari “luar sana” semata-mata untuk memberitahukan kepada kita bahwa Tuhan itu hidup dan sehat, dan bahwa Ia sangat mengasihi kita.
Kita dapat mengirim manusia ke bulan, namun mereka adalah masih “manusia bumi”; mereka hidup di dalam pakaian luar angkasa yang menyebabkan mereka tidak tersentuh oleh situasi yang ada di tempat mereka mendarat. Mereka hidup dan makan, melakukan kegiatan normal sebagaimana halnya makhluk ciptaan, namun mereka terpisah dari “kehidupan apa adanya” sementara mereka berpetualang di bulan.
Tidak, Yesus bukan seorang astronot. Sebagaimana digambarkan oleh para pengikut Nya yang mula-mula, (dengan dituntun oleh Roh-Nya, yang dijanjikan-Nya akan menolong mereka untuk melihat, mendengar dan merasakan secara tepat ketika mereka menulis tentang Dia), Dia menjadi manusia tanpa pakaian pelindung luar angkasa, baik yang tampak maupun tak tampak, yang akan memisahkan Dia dari jenis kehidupan yang dialami oleh orang-orang sezaman-Nya.
Seorang komentator Alkitab sangat membantu dalam menggambarkan kesamaanNya dengan keluarga manusia di Planet Bumi ini: “Yesus menerima kemanusiaan ketika umat ini telah dilemahkan oleh dosa selama empat ribu tahun. Seperti setiap anak Adam, Ia menerima akibat dari prinsip hukum hereditas tentang penurunan sifat kepada keturunan selanjutnya. Akibat-akibatnya ditunjukkan dalam sejarah nenek moyangNya. Dia datang dengan mewarisi sifat-sifat keturunan seperti itu untuk dapat berbagi dalam kesusahan dan pencobaan kita, dan memberi kita teladan tentang kehidupan yang tanpa berdosa.”—The Desire of Ages, hlm. 49.
Meskipun Dia lahir di bawah bayang-bayang kejatuhan, mengambil kemanusiaan sebagaimana setiap bayi yang lahir 2000 tahun yang lalu—“dengan segala kewajibannya” (Ibid, hlm. 117)—Dia menunjukkan bahwa pria dan wanita tidak terkurung dalam peperangan tanpa pengharapan, bahwa bayang-bayang itu bukanlah tidak dapat dibatalkan, bahwa dosa bukanlah hal yang tidak terelakkan, bahwa Tuhan selalu memiliki jalan keluar dan menuju ke atas. Dia membuka tirai dan menunjukkan kepada kita semua bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya, yaitu cara yang dimaksudkan oleh Tuhan bagaimana pria dan wanita seharusnya hidup.
Yesus Sendiri menanyakan pertanyaan besar ini pada suatu hari di Kaesaria Filipi, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Dan Petrus menjawab balik, dengan pengakuan yang menda-lam, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Matius 16:15, 16).
Perkataan itu selalu terngiang. Bayangkan, makan dan minum, berjalan dan berdoa, dengan Tuhan! Namun mereka juga mengenal Dia sebagai manusia, manusia yang sesungguhnya. Tuhan yang menjadi manusia! Inkarnasi! Mengapa? Untuk mempersatukan orang-orang berdosa dengan Tuhan; untuk menjembatani wilayah perairan yang bergolak dengan kasih dan kuasa! Paulus menggambarkan misi Tuhan kita yang luar biasa: “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu” (Roma 5:10, 11).
Yesus Kristus adalah jalan kembali ke Eden, penyelesaian bagi keputusasaan manusia. Dia sendirilah landasan bagi pengharapan umat manusia dan satu-satunya dasar bagi penebusan manusia. Lihatlah Dia tergantung di kayu salib Kalvari di antara langit dan bumi; sebuah penderitaan yang adil bagi orang yang tidak adil; untuk menunjukkan kasih bagi orang yang tidak mengasihi! Ukurlah kehidupanmu dengan kehidupanNya! Ambillah tawaran pengampunan dan penerimaan penuh dariNya! Dengarlah perkataanNya yang menyelamatkan, “dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” (Yohanes 12:32). “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (3:17). Sesungguh-nya, Dialah yang dijanjikan oleh malaikat dan yang saya perlukan—“Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan” (Lukas 2:11).
Alasan lain kedatangan Tuhan kita ke dunia ini dan menjadi manusia yang sesungguhnya, “dalam segala hal” (Ibrani 2:17), adalah untuk memberi jawaban untuk sekali saja dan bagi semua orang sebuah pertanyaan dasar tentang pertentangan kosmik yang besar—apakah pria dan wanita yang telah jatuh ke dalam dunia yang tercemar oleh dosa dapat menghidupkan kehidupan dengan ketaatan yang penuh sukacita, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Tuhan?
Yesus mematahkan tuduhan-tuduhan Setan bahwa dosa adalah tidak terelakkan dan bahwa ketaatan adalah tidak mungkin; bahwa manusia yang telah jatuh tidak dapat berharap untuk hidup dengan kemenangan atas dosa. Dia men-demonstrasikan bukan saja bahwa pria dan wanita dapat memelihara hukum Tuhan dengan kuasa yang diberikan, namun bahwa Tuhan sendiri rela untuk mengambil resiko keamanan surga untuk menyelamatkan manusia. Dia membuk-tikan bahwa tidak ada yang dituntut oleh Tuhan atas cipta-anNya yang tidak rela dilakukanNya bagi ciptaanNya. Kita tidak perlu berpanjang lebar membahas tentang bagaimana Yesus menjadi solusi kekal atas masalah dosa sehingga hati kita dapat merasa bersyukur, memuji dan mengagumi Tuhan, yang mengirimkan Yesus, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darahNya” (Roma 3:25).
Kematian Yesus “bagi kita” (1 Tesalonika 5:10) adalah titik nyala waktu, pusat dari rencana keselamatan, prisma yang melaluinya kita dapat melihat sepenuhnya spektrum kasih Tuhan bagi ciptaanNya. Pengorbanan Manusia Yesus membuktikan bahwa Tuhan itu adil, bukannya tidak adil ataupun banyak tingkah. Pengorbanan itu menunjukkan bahwa Dia mengasihi melebihi imajinasi manusia. Tuhan membuktikan bahwa pelanggaran akan hukum-hukum alam semesta yang mendasar memberi konsekuensi yang mengerikan, yang dinyatakan-Nya dengan mengizinkan “kutukan hukum” (Galatia 3:13) ditumpahkan sepenuhnya dalam kehidupan dan kematian Yesus.
Betapa sebuah tugas yang diemban Tuhan dengan menjadi manusia dalam Yesus! Betapa sebuah resiko! Namun melalui kemanusiaanNya, dengan menjadi manusia yang sesungguhnya, Yesus membayar harga kebodohan manusia dan membuka kembali pintu ke Eden.
Tidaklah mengherankan Ellen White, seorang penulis Kristen, menyimpulkan kekaguman hati kita ketika ia menuliskan: “Kemanusiaan Anak Allah adalah segalanya bagi kita. Itu adalah rantai emas yang mengikatkan jiwa-jiwa kita kepada Kristus, dan melalui Kristus kepada Tuhan. inilah yang harus menjadi pelajaran kita. Kristus adalah benar-benar manusia.”—Selected Messages, 1, hlm. 244.
Catatan:
“Setan menyatakan bahwa manusia tidak dapat memelihara hukum Tuhan. Untuk membuktikan bahwa mereka dapat, Kristus menjadi manusia, dan hidup dalam ketaatan yang sempurna, sebagai bukti kepada makhluk manusia yang berdosa, dan kepada malaikat surga, bahwa manusia dapat memelihara hukum Tuhan melalui kuasa ilahi yang disediakan dengan berkelimpahan bagi mereka yang percaya. Untuk menyatakan Tuhan kepada dunia, untuk mendemonstrasikan sesungguhnya apa yang ditolak oleh Setan, Kristus dengan sukarela mengambil kemanusiaan, dan dalam kuasaNya, manusia dapat taat kepada Tuhan…Dia, sebagaimana kita adanya, adalah mengalami pencobaan musuh. Setan bersukaria ketika Kristus menjadi manusia, dan ia memotong setiap langkah-Nya dengan segala bentuk pencobaan. Kelemahan dan air mata manusia adalah bagianNya; namun Dia mencari Tuhan, berdoa dengan seluruh jiwa-Nya, dengan seruan dan tangisan kuat; dan Dia didengar dalam ketakutan-Nya. Kehalusan musuh tidak dapat mempedayai-Nya ketika Dia menjadikan Tuhan sebagai kepercayaan-Nya, dan taat kepada firman-Nya. ‘Pangeran dunia ini datang,’ kata-Nya, ‘dan tidak menemukan apapun di dalam Diri-Ku. Ia tidak dapat menemukan apa pun di dalam Diri-Ku yang menanggapi penyesatannya”—Ellen G. White, Signs of the Time, 10 Mei 1899.