“Anggur adalah pencemooh, minuman keras adalah peribut, tidaklah bijak orang yang terhuyung-huyung karenanya”
(Amsal 20:1).
[AkhirZaman.org] Warisan apakah yang Anda ingin tinggalkan? Lebih spesifik lagi, reputasi apakah yang ingin Anda tinggalkan ketika Anda meninggal? Apakah reputasi Anda sebagai orang kaya, terkenal, atau sangat berkuasa secara politik? Hal-hal apakah yang benar-benar penting bagi Anda?
Di seluruh Alkitab kita menemui mereka yang telah meninggalkan warisan dan reputasi. Ada yang sangat baik, ada yang sangat buruk, dan ada yang meninggalkan keduanya. Lihatlah Nuh. Kemungkinan besar Nuh akan diingat sebagai pengkhotbah yang pertama dan yang kurang sukses. Dia berkhotbah selama 120 tahun tetapi hanya menobatkan sedikit jiwa, dan itu pun hanya keluarganya sendiri. Namun, di mata Allah Nuh sangat positif. Sementara hidup di antara kejahatan dan kekejian pada masa sebelum air bah, “Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN” (Kejadian 6:8).
Walaupun Nuh adalah seorang yang setia dan menurut semua perintah Allah ada suatu kisah dalam hidupnya yang dicatat Alkitab untuk kita (Kejadian 9:20-27). Nuh mendapat nama buruk sebagai orang pertama yang mabuk menurut catatan Alkitab. Sungguh menyedihkan melihat seseorang yang telah banyak berbuat baik bagi Tuhan, seorang yang telah diberi banyak tanggung jawab dan yang sangat dihormati, akhirnya jatuh juga.
Pikiran adalah jalur bagi hampir semua kegiatan komunikasi dan harus dijaga dari pengaruh racun dan zat yang dapat mengaburkan akal sehat dan daya pikir. Pengalaman Nuh ini dapat menjadi amaran dan contoh bagi kita bahwa orang yang “terbaik” sekalipun di antara kita yaitu yang terkuat dan paling setia sekalipun, tidak kebal terhadap cobaan dan dosa terbuka. Meminum alkohol saja pun sudah cukup buruk, tapi kelihatannya Nuh meminum terlalu banyak. Jika Nuh sendiri bisa jatuh seperti itu, apalagi kita?
Apakah Anda pernah mendengar atau melihat sendiri seorang pimpinan gereja yang telah jatuh dalam dosa? Sungguh sedih melihat seseorang yang kita panuti akhirnya jatuh dan mengecewakan kita. Bagaimanakah kita dapat belajar memperluas janji kasih karunia kepada mereka, yang seperti kita sendiri, tidak layak mendapatkannya?